Selama ini, syahadat umumnya hanya dipahami
sebagai bentuk mengucapkan kata “Asyhadu an la ilaha illa Allah, wa
asyhadu anna Muhammad al-rasul Allah”. Dan karena hanya pengucapan,
wajar jika tidak memiliki pengaruh apa-apa terhadap mental manusia.
Siapapun toh dapat mengucapkannya, walau kebanyakan tidak memahaminya.
Padahal makna sesungguhnya bahwa syahadat adalah “kesaksian” bukan
“pengucapan” kalimat yang menyatakan bahwa ia telah bersaksi.
Ketika kita mengucakan kata “Allah”, maka kata ini harus hadir dan lahir
dari keyakinan yang mendalam. Pada saat pengucapan, kita harus yakin
bahwa Allah “ada” pada diri nabi-Nya, dan bahwa setiap diri kita mampu
membawa peran nabi tersebut. Dalam ma’rifat, nabi dan kenabian sebagai
suatu hal yang selalu hidup. Dan ketika person nabi terakhir diberi
label “Muhammad”, maka ia adalah langsung dari nur dan ruh Muhammad, dan
menyandang nama spiritual sebagai “Ahmad”. Dan ketika kata “Ahmad”
disebutkan, Nabi Muhammad sering mengemukakan bahwa “ana Ahmad bila mim”
(aku adalah Ahmad yang tanpa mim), yakni “Ahad”. Ketika suku bangsa
dzahir “arab” disebutkan, beliau sering mengemukakan “ana ‘arabun bila
“Ain”, (aku adalah “Arab tanpa ‘Ain), yakni “Rabb”. Inilah kesaksian
itu, atau syahadat.
Kalau kita membayangkan nabi secara fisikal maka kita akan menghayalkan
tentang nabi. Nah, pada saat Allah kita rasakan hadir atau bersemayam
dalam diri Nabi yang berada di kedalaman lubuk hati kita, maka
terlepaslah ucapan “Muhammad al-Rasul Allah” sebagai kesaksian. Lalu
kesaksian ini kita lepaskan ke dalamDzat Allah. Sehingga kemudian
tercipta apa yang disebut sebagai “Tunggal ing Allah hiya kang amuji
hiya kang pimuji”, kemanunggalan dengan Allah sehingga baik yang memuji
dan yang dipuji tidak dapat dipisahkan.
Pada konteks syahadat yang seperti itulah kemudian lahir ajaran tentang “wirid sasahidan” dari Syekh Siti Jenar, dalam bentuk pengucapan hati sebagai berikut (Sholikhin: 2004, 182-183)
Ingsun anakseni ing datingsun dhewe
Satuhune ora ono pangeran among ingsun
Lan nekseni satuhune Muhammad iku utusaningsun
Iya sejatine kang aran Allah iku badaningsun
Rasul iku rahsaningsun
Muhammad iku cahyaningsun
Iya ingsun kang urip tan kena ing pati
Iya ingsun kang eling tak kena lali
Iya ingsun kang langgeng ora kena owah gingsir ing kahanan jati
Iya ingsun kang waskitha ora kasamaran ing sawiji-wiji
Iya ingsun kang amurba amisesa, kang kawasa wicaksana ora kekurangan ing pakerti
Byar
Sampurna padhang terawangan
Ora kerasa apa-apa
Oa ana katon apa-apa
Mung ingsun kang nglimputi ing alam kabeh
Kalawan kodratingsun.
Artinya:
Aku bersaksi di hadapan Dzat-ku sendiri
Sesungguhnya tiada tuhan selain Aku
Aku bersaksi sesungguhnya Muhammad itu utusan-Ku
Sesungguhnya yang disebut Allah itu badan-Ku
Rasul itu rasa-Ku
Muhammad itu cahaya-Ku
Akulah yang hidup tidak terkena kematian
Akulah yang senantiasa ingat tanpa tersentuh lupa
Akulah yang kekal tanpa terkena perubahan di segala keadaan
Akulah yang selalu mengawasi dan tidak ada sesuatupun yang luput dari pengawasan-Ku
Akulah yang maha kuasa, yang bijaksana, tiada kekurangan dalam pengertian
Byar
Sempurna terang benderang
Tidak terasa apa-apa
Tidak kelihatan apa-apa
Hanya aku yang meliputi seluruh alam
Dengan kodrat-Ku
Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa kesaksian tersebut diperoleh
berdasarkan lelaku. Maka setelah lahirnya kesaksian tersebut juga harus
disertai dengan lelaku pula. Yaitu diikuti dengan semedi atau dzikir
rasa sehingga kemudian dapat mengalami mati dalam hidup dan hidup dalam
mati. Dzikir seperti ini dilakukan dengan meng-heneng-kan diri dan
mengheningkan cipta serta karsa sehingga kembali tercipta kesatuan hati,
pikiran dan rasa hidup. Hal ini dilakukan dengan menyatukan
pancaindera, memejamkan mata dan mengarahkannya ke pucuk hidung
(pucuking ghrana), sambil menyatukan denyut jantung, harus diatur pula
pernapasan yang masuk dan keluar jangan sampai tumpang tindih.
Biasanya praktik sasahidan ini akan berujung pada bercampurnya rasa hati
dan hilangnya segenap perasaan. Kalau sudah mencapai kondisi ini, maka
harus diturunkan ke dalam jiwa dan menyebar ke seluruh sel-sel dan
syaraf tubuh. Sehingga akan tercapailah ketiadaan rasa apapun dan akan
memunculkan sikap ke-waskitha-an (eling lan waspadha).
Dengan demikian wajar jika pada kesimpulannya tentang makna syahadat,
Syekh Siti Jenar memberikan makna syahadat sebagai etos gerak, etos
kerja yang positif, progresif, dan aktif. Syekh siti jenar mengemukakan
bahwa syahadat tauhid dan syahadat rasul mengandung makna jatuhnya rasa
(menjadi etos), kesejatian rasa (unsur motorik), bertemunya rasa (ide
aktif dan kreatif), hasil karya yang maujud serta dampak terhadap
kesejatian kehidupan (Sholikhin: 2004, 187). Itulah makna syahadat yang
sesungguhnya dari sang insan kamil.
Monday, 29 May 2017
Subscribe to:
Posts (Atom)
Featured post
Hasil rapat anak" GWSM yang di selenggarakan beberapa minggu lalu menghasilkan beberapa point" penting untuk kemajuan Garuda Wi...
-
GARUDA WISNU SATRIA MUDA berdiri sejak agustus 2016,,kesenian ini berada di dusun pakeron kelurahan sumbera...
-
Garuda Wisnu di dirikan pada tanggal 24 July 2016 oleh sekelompok pemuda, Terinspirasi dari Seni” Tradisional yang lain,,Awal mu...
-
Di Dusun Pakeron,Sumberarum,Tempuran terdapat sebuah kesenian baru yang berdiri sejak 2016 dan di beri nama GARUDA WISNU SATRIA MUD...